Kisah Bangkrutnya Warung Bu Is
Warung Bu Is adalah sebuah warung nasi yang berada di kampung Sarmili, Jurangmangu Timur, Tangerang. Warung ini dioperasikan oleh seorang wanita yang bernama Ismi, dan biasa dipanggil dengan Bu Is. Sebenarnya bu Ismi masih tergolong muda. Usianya mungkin belum tiga puluh tahun. Bu Ismi memiliki seorang suami dan satu putra. Mereka tinggal bersama di tempat usahanya itu. Warung tersebut disewa dari pemiliknya yang rumahnya tepat dibelakang warung. Bu Ismi dan keluarganya berusaha dan bertempat tinggal di situ. Keluarga tersebut memiliki satu kamar tidur yang letaknya di teras rumah pemilik warung yang disewa. Kanan dan kiri teras tersebut diberi sekat sehingga akhirnya bisa berbentuk kamar. Selain berfungsi sebagai kamar tidur, ruangan itu juga menjadi ruang keluarga untuk menonton TV, serta dapur. Penataan ruangan sering berubah-ubah namun terakhir kali saya lihat adalah seperti itu. Wilayah warung dengan apik ditata sehingga ruangan yang sebenarnya sempit itu mampu menampung pembeli dengan cukup banyak. Tulisan ini tidak hendak membahas mengenai operasional sehari-hari warung nasi tersebut melainkan hanya ingin mengajak pembaca mengetahui bagaimanakah kisah perjalanan warung itu yang sebelumnya laris manis dikunjungi banyak pembeli hingga mengalami kebangkrutan yang menyedihkan. Saya memilih untuk mengemukakan kisah tentang warung Bu Is karena menurut saya banyak pelajaran menarik yang dapat kita ambil dalam berbisnis. Kita tidak hanya belajar dari kesuksesan orang-orang namun kita juga perlu, bahkan sangat perlu, mempelajari kegagalan-kegagalan orang lain yang telah merasakan pahitnya berbisnis.
Warung bercat biru itu memang cukup terkenal di kampung Sarmili. Warung tersebut menjadi salah satu warung terlaris di wilayah itu. Saya melihat, saat itu ada dua warung yang “berkuasa” di Sarmili, yakni warung Bu Is dan warung Bu Ani. Sebetulnya ada satu warung lagi yang cukup laris yakni warung Bu Ning, namun karena letaknya yang berdekatan dengan warung bu Ani, maka penjualannya tersaingi oleh warung bu Ani. Warung Bu Is letaknya cukup jauh dari kedua warung itu meskipun sama-sama satu kampung. Hal tersebut membuat warung Bu Is memiliki pelanggan tetap yang umumnya berasal dari mahasiswa yang tinggal di sekitarnya. Selain mahasiswa, pembeli yang lain juga berasal dari warga masyarakat, serta warga luar kampung yang sedang melewati kampung Sarmili. Warung Bu Ismi mengalami penjualan yang cukup konsisten pada waktu itu, hampir setiap malam jualannya selalu habis. Menu andalan warung itu misalnya nasi pecel, beberapa jenis lauk ikan, ayam goreng tepung, serta soto ayam. Saya dulu merupakan salah satu pelanggan di sana. Bu Ismi beserta suaminya bersikap ramah dan murah senyum pada pembeli maupun bukan. Suaminya pernah berkata pada saya kira-kira,”Mas, di sini itu orangnya baik-baik kayak di jawa jadi ga perlu sungkan”. Namun, pada akhirnya terungkap bahwa kalimat tersebut tidak sepenuhnya benar dan malah membungkam orang yang telah mengucapkannya.
Saat itu adalah bulan-bulan di mana kontrak bu Ismi atas warung akan berakhir. Bu Ismi diharuskan memilih apakah akan memperpanjang kontrak atau pindah dari tempat itu. Dan ternyata bu Ismi memilih alternatif kedua. Beliau bercerita pada saya bahwa pemilik warung menetapkan harga sewa yang tinggi padanya. Harga sewa tersebut memaksanya untuk mencari warung baru untuk berjualan. Sebelumnya perlu saya beritahukan bahwa saat itu warung Bu Ismi sedang mengalami kejayaan yang besar hingga mampu membuka cabang warung baru di Sarmili. Cabang itu agak mendekati warung bu Ani, salah satu warung laris lainnya di wilayah Sarmili. Dengan begitu, ketika bu Ismi belum terusir dari warung lama, ia telah memiliki dua tempat usaha, walaupun warung yang kedua baru saja didirikan. Hal itu menunjukkan bahwa usaha Bu Ismi, sebelum “pengusiran”, berkembang pesat. Seperti yang telah dijabarkan ilmu manajemen keuangan dan umum terjadi di sekitar kita, apabila ada yang sukses pasti ada yang muncul untuk menyainginya bahkan kalau bisa merebut kesuksesan tersebut. Hal itu pula yang menimpa usaha bu Ismi. Setelah melihat kesuksesan yang diraih bu Ismi di warung tersebut, pemilik warung berencana membuka usahanya sendiri di warung itu. Ia ingin mengikuti kesuksesan bu Ismi. Dengan menaikkan harga sewa setinggi mungkin, secara halus merupakan cara mengusir penyewa yang cukup efektif. Dan cara itu pun berhasil. Bu Ismi pun memindahkan “perusahaannya” tidak terlalu jauh dari lokasi semula tapi masuk agak dalam ke gang.
Warung baru yang disewa bu Ismi sangat tidak strategis bila dibandingkan dengan lokasi yang lama. Tempatnya menjorok masuk ke dalam gang. Bahkan, dari depan gang tidak tampak tanda adanya warung di gang itu. Gang itu berjalan tanah dan di samping kanan kirinya penuh bangunan rumah. Dari jalan utama kampung hanya tampak rumah-rumah penduduk di sisi gang, warung bu Ismi tidak bisa terlihat. Oleh sebab itu, bu Ismi memasang papan untuk memberitahukan bahwa lokasi warungnya pindah ke dalam gang. Sejak kepindahannya itu saya jarang membeli makanan dari warungnya. Kemalasan untuk berjalan menyusuri gang adalah alasan utamanya. Warung baru bu Ismi lebih luas dari warung yang lama. Namun belum dicat sehingga terlihat jelas bangunannya dari kayu. Saya memperkirakan bahwa harga sewa warung itu pasti jauh lebih murah dari warung lama di samping jalan utama. Dan itulah faktor pertama yang menyebabkan usaha bu Ismi bangkrut. Bu Ismi melakukan kesalahan fatal dalam memilih lokasi strategis untuk menjalankan usahanya, berjualan nasi. Ia lebih memilih harga sewa yang murah ketimbang lokasi warung yang mudah dijangkau pembeli. Faktor kedua yang turut menyumbangkan peran terhadap kebangkrutan bu Is ialah ambisi pemilik warung yang ingin menjalankan usahanya sendiri menggantikan bu Ismi. Warung itu ternyata hanya berumur pendek. Entah mengapa begitu, yang jelas akhirnya pemilik warung menyewakan kembali warungnya tetapi bukan kepada bu Ismi. Penyewa baru warung tersebut dengan pasti semakin menenggelamkan popularitas warung bu Is, dan ia mampu bertahan hingga saat ini. Faktor kedua adalah mahalnya harga makanan yang dijual, padahal warung-warung lain di Sarmili menawarkan harga yeng lebih kompetitif. Terkesan seolah-olah bu Ismi ingin mengambil untung sebanyak mungkin dan mengeluarkan biaya usaha-khususnya sewa warung-yang serendah mungkin. Sebenarnya harga yang dikatakan mahal itu adalah harga yang sama seperti ketika masih di lokasi yang lama namun harga itu menjadi kurang pantas karena lokasi warungnya yang baru terlalu ke dalam. Apabila bu Ismi hendak mempertahankan pelanggannya mungkin seharusnya ia mencoba melakukan penurunan harga sehingga membuat para pembelinya tetap setia walau harus berjalan cukup jauh ke dalam gang sempit. Faktor ketiga ialah terlalu terburu-buru membuka cabang warung baru padahal “warung induknya” sedang terancam eksistensinya. Selain itu, cabang tersebut juga didirikan dekat dengan warung-warung yang telah lama berdiri. Sepertinya ada keinginan bu Is untuk ikut memperebutkan pangsa pasar yang telah lama dikuasai waung-warung di situ. Pada akhirnya cabang-nya pun kurang begitu laris sebagaimana warung induknya. Dan itu merupakan pukulan kedua yang menerpa bisnis bu Is. Akhirnya setelah mempertahankan usahanya selama beberapa bulan, warung bu Is pun bangkrut.
Kegagalan merupakan hal yang biasa dan harus berani diterima oleh para pengusaha seperti bu Is. Hukum jualan itu mirip seperti hukum rimba, bahwa yang kuat (dari segi modal, strategi penjualan, kualitas, dan harga) yang akan menang. Begitu cepatnya roda berputar, sementara kita masih berada di atas tiba-tiba beberapa saat kemudian kita sudah berada di bawah, tergilas oleh putaran roda itu sendiri.
(copyright@ve08.blogspot.com "Kisah Bangkrutnya Warung Bu Is")
Komentar
Posting Komentar
Komen ya! makasih kakak