Negative Black Swan: Sebuah Kontemplasi

Dalam dua tahun terakhir, saya menyaksikan dua peristiwa yang tak lazim. Bukan sekadar anomali statistik, tapi sesuatu yang lebih mendalam—apa yang Nassim Taleb sebut sebagai Black Swan: kejadian langka, tak terduga, dan berdampak besar. Dua angsa hitam ini datang tanpa undangan, dan membawa kabar buruk. Dua-duanya menimpa orang-orang yang saya kenal—yang saya pikir akan terus bersinar.

Yang pertama adalah seorang sahabat. Kami sama-sama penerima beasiswa Australia Awards. Dia muda, energik, jenaka—selalu membawa tawa ke dalam ruangan. Hidupnya tampak "beres": punya pekerjaan bagus, rumah (meski masih mencicil), status lajang yang diidamkan, dan magnet sosial yang tak perlu diiklankan. Dalam benak saya, masa depannya sudah tergambar terang. Tidak ada ruang untuk kemungkinan suram.

Tapi kenyataan tak selalu patuh pada proyeksi (ini juga yang saya pelajari saat kuliah statistik).

Sahabat saya didiagnosis kanker, tak lama setelah kembali dari studi (ini saya ketahui belakangan). Kami bekerja di kementerian yang sama. Dia sempat meminta izin untuk WfH karena kondisi kesehatannya. Kami sempat berbicara, dua tahun lalu—lewat DM Instagram. Saat itu saya baru kembali dari Australia, sedang menjalani karantina hotel, dan meminta tolong dibelikan materai. Dia membantu, tentu saja. Tak ada tanda-tanda dia sedang sakit. Bahkan story terakhirnya memperlihatkan dia sedang bersama rekan-rekannya bermain Nintendo bersama-meskipun dia sendiri tidak tampak pada foto itu. Filter hitam putih pada foto, saat saya ingat kembali sekarang, seperti pesan samar dari masa depan.

Chat terakhir kami membahas bagaimana saya bisa jadi dosen statistik di STAN—dia menyelipkan candaan, seperti biasa. Saya tak tahu itu akan menjadi kalimat penutup antara kami.

Lalu, pada satu Sabtu pagi, saya terbangun dan melihat fotonya dikelilingi bunga. Ucapan duka cita mengalir deras. Butuh beberapa detik untuk otak saya menyambungkan fakta: ini bukan prank. Ini bukan undangan pernikahan yang dikemas lucu. Ini berita kematian yang di-forward puluhan atau mungkin ratusan kali.

Angsa hitam pertama telah lewat setahun lampau. Tapi yang kedua baru muncul minggu lalu.

Sepupu saya, seorang programmer muda yang juga merantau ke Jakarta, tampak memiliki hidup yang "aman dan lancar". Bekerja di perusahaan tambang nikel, istrinya juga rekan sekantor. Feed Instagram mereka seperti katalog kebahagiaan: liburan, senyuman, kopi pagi, rutinitas yang tampak beres. Tidak ada sinyal bahaya. Tidak ada nada minor.

Namun, minggu lalu, realitas berubah brutal. Sepupu saya jadi penumpang ojek online, mengenakan helm dengan tertib sedang menunggu lampu merah. Tiba-tiba, sebuah minibus melaju 50 km/jam dan menabrak mereka dari belakang. Pengemudi ojol hanya pingsan sesaat. Tapi sepupu saya koma—cedera otak hingga kini.

Saya masih berharap, dengan sepenuh hati, akan datang angsa hitam yang ketiga—tapi kali ini berwarna putih. Sesuatu yang juga tak terduga, tapi membawa mukjizat. Mungkin ia akan bangkit, membuka matanya, dan hidup kembali seperti sedia kala. Mungkin.

Dua peristiwa ini mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan suatu grafik linear. Ia lebih mirip laut: di permukaan tampak tenang, tapi arus di bawah bisa menyeret kapal terbesar sekalipun tanpa peringatan. Kita sering tertipu oleh keteraturan yang kasat mata, padahal kehidupan adalah parade ketidakpastian.

Dan mungkin—mungkin—di situlah letak urgensi kita beribadah kepada Tuhan. Bukan agar kita kaya, bukan agar semua keinginan dikabulkan, tapi agar kita dijauhkan dari angsa hitam yang menghancurkan. Agar hidup kita tak dihantam badai tanpa payung iman.

Karena pada akhirnya, harapan adalah satu-satunya hal yang tetap hidup, bahkan ketika semua logika telah mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Podcast Channel "Mahasiswa Binal"

Cara Setting Email Kemenkeu 2024 (Office 365)

Download Option File PES 2011-PSP (Recommended)!