Ahok, Aksi Damai, Makar dan Perang Jamal

Beberapa minggu sebelum ramainya pemberitaan kasus penistaan agama oleh Ahok, saya pernah ditanya oleh seorang sopir taksi ketika berada dalam perjalanan menuju hotel di Singapura. Pria paruh baya itu menanyakan kabar pilkada DKI Jakarta, termasuk profil tiga kandidat yang akan bertarung. Saya cukup terkejut mengetahui si sopir taksi ini lumayan update mengikuti berita di Indonesia. 

Sopir taksi bertanya banyak hal mengenai pilkada, termasuk mengenai Agus Yudhoyono yang melepas karirnya yang cemerlang di TNI pun tak luput menjadi salah satu pertanyaan beliau. Hingga taksi berhenti di lampu merah chinese town dekat hotel, ia melontarkan pertanyaan yang cukup menarik tentang Ahok. 
“What about Ahok. Ahok is popular in Jakarta, right? Do you think he can win the election?”


Saat itu, saya sambil menidurkan anak di kursi belakang mencoba menjawab pertanyaan itu, “Yeah he is popular. I think he has the chance to win. But, he can get trouble because of his religion.” Saya melihat ekspresi si sopir seketika mengernyitkan dahi, sambil melirik ke arah saya dari spion tengah. Tak lama kemudian, si sopir yang merupakan etnis cina itu berkata, “Ah, i see…”

Diskusi di dalam taksi Comfort Delgro itu kembali mengambang di pikiran saya ketika muncul kasus penistaan agama yang bermula dari uploading video Ahok saat kampanye yang belakangan ini makin memanas. Dugaan saya ternyata terbukti, Ahok bakal kesandung masalah seputar agama.

Kaum muslimin bereaksi keras terhadap perkataan Ahok dalam video itu. MUI sebagai badan pemerintah mencoba bersikap netral dan menenangkan situasi. Namun, beberapa ormas Islam lebih keras menanggapinya. Hingga aksi damai besar-besaran pun digalang, pertama tanggal 4 November, dan kedua adalah hari Jumat kemarin tanggal 2 Desember 2016 yang berbentuk ibadah solat Jumat, diikuti oleh massa dalam jumlah besar.

Sikap saya sebagai seorang muslim tentu tidak menentang aksi damai yang dilakukan oleh saudara-saudara saya ini, dan bahkan dianjurkan pula oleh guru-guru agama saya yang biasa memberikan tausyiah dan kajian di kantor. Saya sangat memahami perasaan tersinggung itu. Di sisi lain, saya pun menyayangkan kenapa Koh Ahok berani mengeluarkan statement yang menyerempet bahaya itu di saat poling-poling masih mengunggulkan dirinya. Saya mencoba berpikir positif, mungkin beliau tidak bermaksud menghina Al-quran yang merupakan kitab suci kami. Secara logika, apabila hal itu sengaja dilakukan tentunya bakal sangat tidak menguntungkan posisinya di pilgub. Bunuh diri namanya.

Namun nasi sudah menjadi bubur, api sudah telanjur membesar, Pak Gubernur harus mempertanggungjawabkan statementnya terkait Al-Maidah (di Injil istilahnya Jamuan Terakhir) itu di Pengadilan. 
Aksi massa besar-besaran pun kemudian digalang karena menganggap Pemerintah sangat lambat bertindak. Begitupun aksi damai kedua yang dilakukan agar Pemerintah tidak melupakan kasus penistaan agama ini. Mereka secara khusus meminta Presiden memberikan perhatian pada kasus ini.

Kedua aksi damai yang menuntut pemerintah segera mengadili dan menghukum Ahok ini mengingatkan saya kepada kasus yang mirip di jaman kekhalifahan Islam yaitu Perang Jamal (perang unta). Perang ini merupakan puncak dari perselisihan antara istri Nabi Aisyah RA dan beberapa sahabat dengan khalifah yang berkuasa saat itu Ali bin Abi Thalib RA. Ummul mukminin Aisyah RA, Tholhah RA dan Zubair RA menuntut Sang Presiden saat itu-Ali RA bertindak tegas dan cepat untuk menemukan dan menghukum pembunuh keji “Presiden” sebelumnya, khalifah Ustman bin Affan RA. 

Dengan dipimpin oleh Aisyah RA, berbondong-bondong kaum muslimin yang berjumlah sekitar 30 ribu orang long march dari Makkah menuju Basrah untuk menemukan pembunuh Ustman RA. Aksi itu mereka lakukan dengan tuntutan kepada Presiden, “Segera proses hukum pembunuh Ustman RA”.
Di sisi lain, Ali RA berusaha bertindak dengan bijaksana dan hati-hati dalam melakukan penyelidikan sehingga proses peradilan tidak bisa dilakukan dengan cepat seperti tuntutan kelompok Mekah itu. Pada titik ini, terjadi perselisihan antara sang Presiden dengan kelompok yang menuntut keadilan segera ditegakkan. Ali RA berusaha menenangkan situasi dan bermusyawarah dengan kelompok penuntut yang sangat marah dengan kematian sahabat tercinta Ustman RA.

Pada suatu momen ketika pimpinan kelompok penuntut tersebut, Zubair RA diundang ke istana dan berdiskusi dengan sang presiden, Ali RA mengingatkan Zubair RA, “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya”. Pada saat itu juga Zubair RA segera tersadar, dan ingin agar pasukan besar itu ditarik kembali ke Mekah. Para sahabat pimpinan kelompok penuntut tersebut pada akhirnya percaya pemerintah akan bertindak sesuai tugasnya, menemukan dan memproses dalang pembunuhan berdasarkan hukum Quran. 

Singkat cerita, kelompok yang menuntut keadilan itu sepakat untuk kembali ke Mekkah dan mempercayakan proses hukum itu kepada Pemeritah, namun sayangnya ada beberapa pihak yang ingin memperkeruh situasi dan tidak menginginkan perdamaian. Mereka berusaha mengobarkan permusuhan dengan membunuh beberapa orang dari kelompok Zubair RA ketika mereka sedang tidur. 

Fitnah pun terjadi karena menanggap Ali RA menipu mereka dan perang Jamal akhirnya tidak terelakkan hingga jatuh korban dari pasukan pemerintah dan kelompok penuntut. Tholhah RA yang hendak menenangkan massa kelompok Mekah agar menahan diri justru gugur ditengah upayanya itu terkena anak panah.
Kita sangat beruntung, pada hari Jumat kemarin Pemerintah bertindak cepat dengan menangkap beberapa orang yang diduga akan menunggangi aksi damai umat Islam. Mereka diamankan atas dugaan akan melakukan makar dan berpotensi memprovokasi massa. 

Alhamdulillah, kegiatan aksi damai kemarin dilakukan dengan sangat baik dan tertib. Seluruh pihak mengapresiasi pencapaian tersebut. Namun, seperti kelompok penuntut keadilan pada perang Jamal, sudah sepatutnya kita percaya bahwa pemerintah akan bertindak sesuai hukum yang berlaku. Aksi massa besar-besaran tidak perlu dilakukan terus menerus, seyogyanya kita memberikan kesempatan kepada pemerintah dan presiden untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang dilakukan sahabat Zubair RA dan Tholhah RA yang akhirnya memutuskan akan kembali ke Mekah setelah diingatkan oleh Ali RA bahwa posisi mereka yang sebenarnya niatnya benar itu (hendak menuntut proses hukum atas pembunuhan Ustman RA) justru menzolimi pemimpin saat itu, Ali RA.    
    
Yang lebih penting lagi, jangan sampai ada golongan yang memanfaatkan kemarahan umat demi kepentingan mereka sendiri untuk memperoleh kekuasaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Klaim Asuransi Mobil

Download Option File PES 2011-PSP (Recommended)!

Cara Setting Email Kemenkeu 2024 (Office 365)