Bubble/Overvalued Properti Makin Mengkhawatirkan!
Akhir-akhir ini saya rajin browsing perumahan. Saya sedang mencari rumah untuk keluarga kecil saya. Lokasi yang saya pilih di luar Jakarta meskipun saya bekerja di kota Jakarta mengingat lingkungan Jakarta menurut saya sudah tidak layak untuk hunian karena rawan banjir, kriminal dan yang pasti harga tanah per meternya sudah tidak terjangkau lagi. Yang mungkin masih terjangkau di Jakarta bagi middle income seperti saya adalah rumah-rumah berdempetan di lingkungan kumuh yang terdapat di dalam gang-gang sempit dimana mobil tidak dapat masuk sampai rumah. Dengan risiko kebakaran yang sering terjadi di Jakarta tentu rumah di dalam gang padat penduduk tidak menjadi pilihan saya. Selain itu rumah-rumah semacam itu seringkali tidak dilengkapi dengan surat-surat rumah yang memadai, seringkali terjadi tipu muslihat dalam penjualan rumah yang merugikan pembeli.
Sebuah iklan rumah "mewah" di situs toko bagus
Pada akhirnya saya melakukan filtering pada situs pencarian rumah dengan memilih kota-kota di sekitar Jakarta yang meliputi Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Namun alangkah terkejutnya saya ketika melihat harga yang ditawarkan oleh para pengembang maupun sales/agen properti perumahan. Harga yang ditawarkan cukup fantastis bahkan untuk rumah dengan tipe kecil sekalipun (luas tanah 72-90). Ketika penghasilan saya sebagai pe-en-es pusat dan penghasilan istri saya yang bekerja di sebuah bank swasta digabungkan ternyata harga rumah2 mungil tersebut sudah hampir tidak terjangkau lagi!
Saya memposting kondisi harga perumahan di Jabodetabek dewasa ini ke laman facebook saya. Seorang teman saya memberikan nasihat: Tunggu dulu sampai bubble meletus. Ya, nasihat tersebut ada benarnya ketika melihat harga-harga rumah di Indonesia khususnya di Jabodetabek saat ini yang sudah overvalued/tidak mencerminkan harga sebenarnya. Harga yang ditawarkan adalah harga riil+harga spekulasi/investasi dengan mempertimbangkan kenaikan di masa mendatang.
Saya memahami bahwa kenaikan harga properti merupakan akibat dari meningkatnya permintaan akan properti. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di kota-kota besar lainnya di seluruh dunia sebagai akibat pertumbuhan ekonomi, misalnya saja di sebuah kota besar di China rumah dekat sekolah favorit dengan 1 kamar kecil dibanderol dengan harga 3,5 M. Namun demikian, selain dikarenakan pertumbuhan ekonomi, kenaikan harga properti, khususnya rumah, juga disebabkan karena adanya para spekulan serakah yang bermain. Mereka membeli rumah bukan untuk ditempati melainkan untuk dijual kembali untuk menghasilkan income yang berlipat ganda. Bank Indonesia sudah berusaha melakukan pengereman kondisi tersebut dengan mengeluarkan peraturan BI yang mengatur kebijakan pembatasan nilai pinjaman alias loan to value (LTV) sejak Juni 2012 mampu memperlambat pertumbuhan kredit properti. Laju kenaikan rumah menjadi sedikit melambat namun tetap tinggi.
Dalam laporan Bank Dunia bertajuk Indonesia Economic Quarterly yang dirilis 18 Maret 2013, dikatakan bahwa properti Indonesia bisa berisiko mengalami bubble. Indikatornya adalah terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang tahun 2012, terutama di sektor apartemen, ritel, perkantoran, serta kawasan industri di Jakarta.
Bank Dunia mencatat, harga jual apartemen di Jakarta sampai akhir 2012 sudah naik 43% dibanding akhir 2011 (year on year). Di saat bersamaan, pertumbuhan kredit kepemilikan apartemen (KPA) juga melejit 84% di periode yang sama. Begitu pula kenaikan harga jual perkantoran yang mencapai 43% di periode serupa. Harga sewa kawasan industri juga menanjak hingga 22% di periode yang sama.
Yang jelas, kenaikan harga properti ini berhubungan erat dengan kredit properti yang melonjak 37% di semester I-2012. Adapun kredit kepemilikan rumah (KPR) di periode yang sama juga melejit 47% dibanding periode serupa tahun lalu (sumber: industri.kontan.co.id).
Kenaikan harga rumah di Jabotabek menimbulkan fenomena yang tidak asing di sekitar kita. Para ibu meninggalkan anaknya dirumah bersama pembantu demi membantu suami mencicil KPR. Ketika pembantu resign biasanya mereka akan panik dan kewalahan mencari PRT yang baru. Bahkan ketika pembantu cuti beberapa hari saja sudah cukup membuat repot pasutri tersebut. Rekan saya mengambil cuti 2 hari karena pembantunya ijin melayat kakeknya di kampung. Belum lagi kasus pembantu yang kabur dari rumah dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil sendirian di dalam rumah dengan hanya meninggalkan sepucuk surat pengunduran diri menimbulkan risiko yang cukup besar bagi pasutri yang memasrahkan anaknya kepada pembantu.
Para pembeli rumah yang membeli dengan KPR memiliki risiko gagal bayar yang tinggi apabila rasio cicilan-penghasilan mereka sangat tinggi. Kenaikan bunga KPR bisa membuat mereka kelimpungan. Kasus ekstremnya seperti yang terjadi di Amerika serikat beberapa tahun yang lalu, masyarakat yang mencicil rumah tidak sanggup membayar yang menyebabkan rumah dilelang namun tidak ada yang membeli sehingga harga rumah langsung rontok seketika, lembaga pembiayaan-nya pun gulung tikar beberapa ada yang dibail out pemerintah. Efek kejatuhannya seperti kartu domino yang disusun berderet, dengan satu sentakan diujungnya, segera merembet ke yang lain.
Lukas Setia Atmaja dalam artikelnya yang berjudul "Mabuk Buble Properti" menuliskan kisah tentang para spekulan yang mabuk harapan kenaikan investasinya. Hanya dalam beberapa tahun seorang spekulan mampu meraup ratusan juta dari jual beli properti. Ia mengutip teori "Greater Fool" bahwa bubble terbentuk dari perilaku spekulan yang terlalu optimistis (The Fools) yang berani membeli aset yang kemalahan (overvalued) dengan harapan bisa menjual kembali kepada spekulan lain (The Greater Fools) pada harga lebih tinggi. Bubble akan makin menggelembung sepanjang The Fools (spekulan/orang-orang bodoh) bisa menemukan The Greater Fools yang bersedia membayar lebih tinggi. Bubble akan meletus ketika The Greater Fools menjadi The Greatest Fools (sumber kolom.kontan.co.id).
Rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota pemerintahan menurut saya cukup tepat untuk mengurangi dampak bubble properti di kawasan Jabodetabek. Jakarta lebih baik menjadi ibukota perdagangan supaya tidak terlalu berat menanggung beban permasalahan. Kita dapat mengambil contoh dari negara tetangga Malaysia yang sudah memindahkan ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Namun demikian selama para spekulan bermain kondisinya akan terulang kembali. Para spekulan akan menginvestasikan uangnya di tempat yang diperkirakan akan ramai dan mengharapkan untung besar dari pembeli selanjutnya (The Greater Fools) hingga akhirnya The Greatest Fools muncul dan bisul itupun pecah...
Komentar
Posting Komentar
Komen ya! makasih kakak