Kisah Kos, dari Islam Radikal hingga Pluralisme
Kamar kost merupakan tempat melepas lelah setelah beraktivitas sehari-hari. Saya mulai menyewa kamar kos semenjak kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri setelah lulus dari SMA. Kost pertama saya adalah ruangan seharga Rp 100.000/bulan, berukuran kecil, hanya muat diisi meja kecil, ranjang kayu kecil, dan lemari kecil, semua serba kecil. Dindingnya dari triplek dan terletak diluar rumah utama. Dilihat dari bentuknya mungkin ruangan tersebut dulunya dijadikan warung kecil-kecilan oleh pemilik rumah. Saya mendapatkan kost tersebut berawal dari pendaftaran ulang yang dilakukan setelah pengumuman lulus UMPTN. Ketika mengisi formulir daftar ulang, sekelompok anggota BEM Fakultas mendatangi calon mahasiswa baru dan menawarkan bantuan mencari kost. Setelah berdiskusi tentang tawaran tersebut, ternyata mereka mencari orang untuk menggenapi jumlah pengontrak rumah. Mereka akan mengontrak sebuah rumah tidak jauh dari kampus, berisi sejumlah kamar di dalamnya. Awalnya saya tidak tertarik menyewa rumah beramai-ramai, namun usaha saya mencari kost-kostan lain yang layak, manusiawi dan murah di dekat kampus nampaknya sia-sia. Kamar-kamar yang pernah saya datangi berupa ruangan bersekat berdinding triplek yang tidak sepenuhnya menutupi kamar, mirip bilik pencoblosan saat pemilu. Ada juga kamar yang agak sempit, gelap, dan sumpek, mirip kandang ayam. Kemudian ada pula ruangan tidak terlalu besar dekat WC yang dipatok dengan harga premium untuk ukuran mahasiswa. Saya bersama sepupu berkeliling di komplek perumahan dekat kampus hingga akhirnya menyerah. Saya terpaksa memutuskan untuk memilih tinggal bersama para anggota BEM fakultas. Hari itu saya masuk dan melihat-lihat kost baru saya. Saya disodori peraturan kost yang harus dipatuhi, antara lain tidak merokok dan membawa teman wanita ke dalam kost. Aturan itu membuat saya agak khawatir meskipun saya bukan seorang perokok, karena selama ini saya biasa hidup bebas di rumah orangtua, tanpa adanya aturan tertulis semacam itu. Saat itu adalah pertama kalinya saya berpisah dari orangtua, tidak hanya tidak satu rumah lagi, mereka juga baru saja pindah ke Kalimantan karena dinas. Kami dipisahkan laut jawa.
Aturan yang tertulis di kost itu nampaknya hanya sebagian kecil saja dari undang-undang yang ditetapkan para anggota BEM Fakultas yang ternyata memiliki jabatan tinggi di organisasi, salah satunya adalah sang ketua BEM Fakultas. Di antara aturan yang tidak tertulis itu adalah kewajiban membersihkan kamar mandi bergiliran sesuai jadwal, mengaji bersama setiap malam, memberikan kultum bergiliran, dan mengikuti pertemuan rutin anggota jamaah setiap minggunya. Ketika itu saya baru tahu jika penghuni kost tersebut itu adalah bagian dari organisasi yang lebih besar. Organisasi keislaman yang cukup vokal dan sering berdemo, dan sudah masuk ke jaringan kampus. Organisasinya berafiliasi salah satunya dengan kelompok di Lebanon yang berhasil memukul mundur pasukan Israel dari Lebanon beberapa tahun lalu. Saat pertama kali saya masuk kost, kami-para mahasiswa yang baru diterima, diajak berdemonstrasi. Saya lupa demo masalah apa, tapi kami menolak ajakan tersebut dan memilih bersantai dirumah.
Jika diamati, di kampus tersebut, untuk menjadi pengurus BEM mereka menggunakan kendaraan politik berupa organisasi keislaman itu. Dukungan dari sesama jamaah nampaknya sangat besar sehingga membuat anggotanya dapat terpilih menjadi Ketua BEM dan Pejabat BEM lainnya. Dan saya, sudah disiapkan menjadi kader selanjutnya dari organisasi tersebut, mewarisi tradisi keislaman organisasi. Suasana di kost pertama saya cukup mirip pondok pesantren. Aura agamanya sangat kental sekali. Saya masih ingat ketika senior tidak akan meninggalkan pintu kamar saya sebelum saya bangun untuk solat subuh di mesjid dekat kost. Dia akan terus mengetuk pintu hingga saya menjawab dari dalam dan itu terjadi setiap hari. Rasanya cukup senang bisa dilatih berdisiplin ala pesantren seperti itu.
Menjadi anggota jamaah berarti harus mentaati aturan jamaah itu jika tidak bersiaplah untuk disidang. Sidang itu dilakukan dalam rangka mencari keterangan dari si tertuduh dan menemukan hukuman apa yang pantas diberikan. Seorang senior yang juga anggota BEM fakultas tapi bukan anggota jamaah menceritakan pada saya mengenai sidang organisasi itu. Pernah ada anggota jamaah yang disidang karena mendekati seorang wanita, dia bergaul terlalu dekat. Saya tidak bisa mengetahui apakah pergaulan mereka hanya berupa interaksi pria-wanita kebanyakan, atau mereka berhubungan dalam arti berpacaran. Mungkin penjelasan yang kedua yang jadi penyebab dilakukannya sidang. Tapi dalam lingkungan yang cukup “glamour” di kampus itu, saya merasa surprise juga masih ada yang berusaha menjaga kebersihan hati meskipun bagi sebagian orang islam awam dianggap cukup fundamentalis. Bayangkan saja, tidak sedikit saya melihat mahasiswi berpakaian sexy yang berseliweran di lingkungan kampus, sementara dibagian yang lain sekelompok mahasiswa yang lain berusaha menerapkan ajaran islam secara benar, yang mungkin saat ini oleh masyarakat awam dianggap Islam radikal padahal sebenarnya Islam itu hanya satu, tidak ada Islam radikal ataupun moderat. Suasana di kampus saya campur baur, semua sejalan dengan pilihan masing-masing. Ada yang menjadi orang kebanyakan, hidup glamor dengan mobil dan pergaulan khas anak muda, sementara ada yang lebih fokus ke organisasi keislaman. Dan nampaknya golongan kedua itu cukup mendominasi fakultas, setidaknya berhasil mengorbitkan anggotanya menjadi pengurus BEM Fakultas saya.
Saya tidak sampai sebulan berada di kost berlantai dua itu, karena saya memutuskan pindah ke kampus lain di Jakarta.
Saya tiba di Jakarta pada hari itu, dan esoknya diantar oleh sepupu mencarikan kos di sekitar kampus baru saya. Ia merekomendasikan bekas kosnya ketika kuliah di kampus tersebut. Dan setelah berjalan cukup jauh dari Blok S Jakarta Selatan, kami menemukan gang jalan kampung sempit yang masih diingat sepupu saya sebagai gang kosnya dulu, kami berjalan kaki masuk lebih dalam. Mulut jalan itu sangat sempit hingga tidak bisa dilewati mobil, namun melebar ditengah. Dan kos saya terletak di jalan gang yang melebar sehingga bisa dimasuki mobil. Namun sepupu saya memarkir mobil di depan mulut gang. Kami melihat-lihat dan tidak butuh waktu lama untuk memutuskan menyewa kamar kos itu. Sewanya murah, per tahun hanya Rp 3.000.000,- ditambah ongkos listrik tiap bulan sebesar Rp 50.000 dan jasa cuci bulanan Rp 100.000,-. Kamar kos yang baru ini jauh lebih luas dibandingkan dengan kamar kos sewaktu di Semarang. Ada ranjang kayu yang cuma muat satu orang, meja belajar, dan rak buku kecil. Saya membeli lemari pakaian eks penghuni kamar sebelumnya. Sisa ruangan masih cukup untuk ditambah satu ranjang lagi. Kamar saya berhadapan langsung dengan ruang keluarga tempat keluarga pemilik kost dan anak-anak kos lain menonton TV. Sebuah TV 21 Inch cembung dipasang di atas lemari kecil dengan sofa di sisi kanannya, tapi biasanya kami mononton tv lesehan di lantai. Pemilik kos itu adalah keluarga betawi yang masih sangat kental budaya betawinya. Mayoritas penduduk kampung itu adalah betawi. Sehingga tidak jarang saya mendapati berbagai acara/ritual khas yang biasanya dilakukan suku betawi, semisal menyalakan petasan saat pernikahan. Dialeknya pun kental betawi, Ape kabar luh?
Kamar saya berjarak sangat dekat dengan TV yang dipasang di ruang tengah, sehingga saya bisa mendengar acara apa yang sedang ditonton oleh orang diruangan itu. Yang paling sering ditonton oleh pemilik kos adalah acara-acara dangdut serta sinetron malam. Saya agak khawatir dengan kebiasaan pemilik kos utamanya ibu kos yang suka menonton sinetron-sinetron “dewasa” karena anaknya yang masih SD ikutan nonton sering hingga tertidur di depan TV. Sinetron-sinetron yang dilihat mengumbar kata-kata umpatan dan juga kisah cinta yang sangat tidak baik untuk anak dibawah umur. Tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa karena ibunya saja tidak melarang. Ibu kos hanya melarang apabila dia tidak mau belajar ketika esoknya ada ujian.
Mengenai kebiasaan ibunya menonton dangdut, itu adalah hal yang cukup menggangu konsentrasi belajar saya. Beliau suka menyetel volume suara TV keras-keras dan hanya mengurangi beberapa bar sedikit saat musim ujian di kampus, itupun kalau beliau ingat kami sedang ujian. Maka terkadang saya keluar saat beliau sedang ke toilet, lalu mengambil remote TV untuk mengecilkan volume suara. Ketika beliau sadar suaranya lebih kecil dari sebelumnya, biasanya beliau akan memperbesar lagi volume suaranya bahkan melebihi sebelumnya, well hell...
Kampung tempat saya kos, seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, dipenuhi oleh penduduk asli betawi. Suasananya benar-benar kampung, padat penduduknya, rumah-rumah berdekatan, dengan mayoritas menyewakan kamar untuk para mahasiswa. Kampung ini terletak di wilayah Jurangmangu, Tangerang, dan berdekatan dengan daerah Bintaro. Bila Bintaro daerahnya bisa dibilang cukup rapi tertata dan bersih, maka Jurangmangu mungkin bisa dikatakan lebih tertinggal dibandingkan Bintaro. Mungkin karena pengembangan wilayah ini belum sebaik Bintaro yang dikelola oleh sebuah developer ternama. Bila ingin merasakan suasana mirip kota di Jakarta, maka saya pergi ke Bintaro, yang jalannya terletak di depan kampus. Saya cuci mata di mall, melihat-lihat buku di gerai Gramedia yang sangat besar, makan di restoran, pokoknya suasana kota besar terasa di Bintaro. Sementara kalo saya berobat ke dokter/rumah sakit, saya pergi ke wilayah sekitar Jurangmangu dimana biaya dokternya terbilang masih murah. Bisa disimpulkan bahwa daerah kos saya ditengah-tengah dua wilayah dengan karakternya masing-masing.
Di kos tersebut saya tinggal sekitar 3 tahun tanpa pernah mencoba pindah kos. Meskipun pada akhirnya saya baru menyadari kalau itu berdampak pada pergeseran jenis musik kegemaran saya. Sedikit banyak saya jadi tertarik dengan lagu dangdut, hohoho. Dan ketika saya berkewajiban melakukan Praktik Kerja Lapangan (PKL), saya memutuskan kembali ke Semarang untuk mencari data. Selama sebulan saya harus meninggalkan kamar kos. Orangtua saya meminta ssaudara sepupu di Kudus untuk mencarikan kamar kos buat saya selama di Semarang dan dari situlah muncul cerita lain mengenai kos.
Saya masuk ke sebuah bangunan cukup besar yang terletak di dalam sebuah gang besar di kota Semarang. Bangunan tersebut adalah satu dari tiga bangunan kos dengan satu pintu gerbang. Ketiganya memiliki pintu untuk menyambung antara satu dengan lainnya namun lebih sering dalam keadaan tergembok. Ketiganya dimiliki oleh orang yang sama. Dua bangunan lain di kanan dan kiri sudah penuh disewa, dan rumah yang saya masuki ini masih kosong karena baru saja dijadikan kos-kosan, yang sebelumnya berfungsi sebagai gudang. Bekas gudang terlihat karena ada dua ruang kosong besar setelah pintu masuk sebelum mencapai ruangan ketiga yang berisi kamar-kamar. Dinding kamar terbuat dari triplek, cukup sempit karena ada kamar mandi dalam yang makan tempat. Saya harus “berterima kasih” kepada sepupu saya yang sudah mencarikan kamar, saya bisa berkonsentrasi di situ, karena saya adalah satu-satunya penguni di rumah berlantai tiga itu, hanya saya.
Tempat magang saya untuk melaksanakan PKL adalah kantor KPPN I Semarang. Di sana saya menggali data mentah untuk laporan PKL selama satu bulan. Pagi saya mencoba merasakan bagaimana rasanya bekerja, lalu saat lowong melakukan wawancara dengan beberapa pegawai kantor, dan malamnya adalah waktunya saya beraksi mengetik informasi yang saya dapatkan. Sepulang dari tempat PKL, saya masuk ke rumah kos itu, menyusuri dua ruangan besar yang cukup muat untuk bermain futsal, kadang tanpa cahaya karena lampu tidak dinyalakan oleh penjaga kos yang berjaga di depan rumah, nyambi menjaga wartel. Kamar kos saya ada dekat dengan sisi ujung rumah itu. Setelah beberapa meter berjalan dari pintu masuk, saya masuk ke kamar dan mandi, solat lalu sisanya mengetik laporan. Dari kamar tersebut saya bisa mendengar suara penghuni rumah kos sebelah yang ramai, bertolak belakang dengan kondisi saya yang super sepi. Namun ada yang membuat suasana kamar kos saya makin sepi dan mencekam, yaitu setelah pukul 22.00, penjaga kos akan masuk rumah dan mengecek apakah pintu belakang (yang dekat dengan kamar saya) tetap tergembok untuk memastikan antara rumah yang satu dengan yang lain tidak bisa diakses. Dan dia akan “menantang” saya melakukan uji nyali dengan mematikan lampu-lampu di koridor rumah termasuk dua ruangan besar di rumah itu. Setelah itu rumah akan dikunci dari luar sehingga sempurna untuk melakukan uji nyali. Bayangkan rasanya di rumah besar berlantai tiga dengan semua kamar kosong dan pintu terkunci dari luar. Saya mencoba berkonsentrasi membuat laporan, menghilangkan fantasi mengerikan mengenai hantu gentayangan. Lalu ketika mengantuk saya mematikan lampu dan menarik selimut ke muka. Malam pertama di rumah itu saya susah tidur. Pernah di suatu malam ada suara sesuatu menabrak jemuran handuk yang saya pasng di depan kamar, saya tidak tahu apa yang menabrak, tapi sangat berharap semoga itu hanya kucing/tikus yang iseng meskipun saya tidak mendengar suara mengeong/mencicit. Sesuatu itu tampak berjalan dengan cepat karena benturan dengan jemuran saya cukup keras. Di malam yang lain, tetangga kos di rumah sebelah ada yang meninggal dunia. Teman kamarnya pindah kamar ke rumah kos sisi yang lain (ada tiga rumah kos dalam satu “komplek”, termasuk kos saya). Dan saya dibayangi perasaan bagaimana jika arwah orang itu iseng main ke rumah kos yang saya tempati. Ah, saya mencoba membuang jauh segala pikiran tentang setan, toh saya sendiri adalah setan karena saya tidak jarang melakukan kesalahan dan dosa. Sesama setan dilarang saling mengganggu kan? Beruntung saya tidak terus-terusan melewati malam sendirian karena sepupu saya dimintai menginap bareng saya di kamar kecil itu. Saya tidak memaksanya untuk menginap karena ukuran kamarnya pun sudah sesak bila dia tidur di situ, sehingga apabila kami tidur, kepalanya ada di bawah, sementara kepala saya ada di atas, dan saya tidak bisa bebas menggerakan kaki karena ada kepalanya dibawah. Udara ruangan pun makin sumpek. Tetapi, yang namanya ujian pasti ada akhirnya, uji nyali itu selesai juga setelah saya selesai melaksanakan PKL selama sebulan. Ada perasaan sangat lega ketika mengemasi barang-barang saya dan menyerahkan kunci ke penjaga kos. Saya lulus dari uji nyali selama sebulan sekaligus sukses membawa pulang data untuk laporan PKL! Pengalaman uji nyali di rumah kosong itu membuat ketakutan saya ketika berada di ruangan kosong sendirian menjadi berkurang karena toh saya sudah pernah mengalami hal yang lebih mencekam daripada itu.
Kisah mengenai kamar kos memang unik, semua orang pasti masing-masing memiliki kisahnya sendiri mengenai kamar sewaan itu. Keunikannya bisa dari lokasi kos, aturan-aturan dalam kos, harga sewa kos dan sebagainya. Selain dari dua kisah kos yang sudah saya ceritakan di atas, saya juga mempunyai kisah lain mengenai kos yang bertema pluralisme. Pluralisme bisa diartikan sebagai kemajemukan (plural). Pluralisme merupakan isu sensitif dewasa ini di Indonesia. Ada segelintir kelompok yang tidak mengakui bahwa Alloh telah menciptakan manusia dengan beragam suku ras dan perbedaan-perbedaan lainnya. Contoh kecil mengenai pengakuan terhadap pluralisme yang “berhasil” di sekitar saya salah satunya adalah kos saya ini. Bisa dibilang demikian karena populasi dalam rumah kos ini sangat beragam. Ada beberapa etnis yang tinggal di kos ini. Penjaganya berasal dari Sulawesi, sementara penyewanya ada etnis tionghoa, jawa, sunda, bali dan sebagainya. Namun yang paling menarik adalah adanya toleransi beragama yang kuat antara penghuni kos ini. Di lantai 2 kos terdapat sebuah aula yang dipakai sebagai gereja kristen yang ramai dikunjungi jamaatnya pada hari Sabtu dan Minggu. Lagu-lagu rohani terdengar cukup jelas di kamar saya di lantai 1. Ketika lagu-lagu pujian tersebut mengalun, di lantai satu penghuni kos yang muslim melaksanakan solat, dan di lantai tiga ada sahabat saya yang beragama hindu, pun mungkin sedang berdoa sesuai keyakinannya. Gambaran suasananya sangat beragam, penuh dengan nuansa spiritualisme. Semua berbeda tapi tetap satu seperti slogan Bhinekka Tunggal Ika (Unity in Diversity).
Suatu hari saya pernah berbincang dengan penjaga kos saya yang beragama kristen. Dia mengatakan bahwa dia tidak merasa risih dan asing dengan agama saya yang islam, karena saudara-saudaranya di kampung banyak yang muslim. Jadi, kenapa beberapa pihak di luar sana harus terus mempermasalahkan agama/keyakinan/etnis orang lain bila hal itu malah menyebabkan kerusakan dimuka bumi ini? Bahkan peristiwa pengeboman di mesjid beberapa saat lalu sudah sangat membuat bingung, terlebih bagi umat Islam sendiri, sudah tidak jelas lagi tujuan pengebomnya. Kalau menurut Superman is Dead dalam lagunya “Kuat Kita Bersinar”,
Play Song
“Ku tatap dunia terasa perih luka di dada, pertempuran dua manusia yang buta indahnhya perbedaan. Ku bisa-kau bisa melupakan perbedaan yang ada, bersama kita terluka bersama kita bisa tertawa. Ayo bangun dunia di dalam perbedaan, jika satu tetap kuat, kita bersinar...dan dunia kembali tertawa”. Kapan Indonesia bisa maju kalau terus hanya mempermasalahkan apa agamamu atau sukumu?
vega doyan lagu dangdut..??hihi...
BalasHapushmm..ya..menurutku memang lebih tepat dikatakan sebagai pluralisme..n itu memang harus ada toleransi..tapi kalo sudah menyangkut akidah,,ga ad lagi yang namanya toleransi..
*ngomong2 disidang..jadi inget jaman2 itu.. :D
nisa ternyata pernah disidang??? waaw, hehe
BalasHapusbukan ga...hanya sebagai saksi.. :D
BalasHapuseh, yg bener bukan pluralisme..tp lebih tepat dikatakan multikulturalisme...coba deh di cek di kamus..
saksi? di STAN?? kasus apa emang? iya sebenarnya emang multikultur tp banyak media yg nyebut sbg pluralisme
BalasHapus